Suara Dunia Melawan Perang: Rakyat Sipil dari New York hingga Teheran Serukan Perdamaian

New York – Teheran – Paris, 26 Juni 2025 — Ketika bom dijatuhkan dan rudal diluncurkan dari berbagai belahan Timur Tengah, suara-suara dari jalanan kota besar dunia bergema menuntut satu hal: perdamaian. Rakyat sipil dari berbagai negara, dari New York hingga Teheran, dari London hingga Jakarta, mulai turun ke jalan mengutuk kekerasan yang terus meningkat antara Iran, Israel, dan Amerika Serikat. Mereka membawa spanduk, menyalakan lilin, dan menyanyikan lagu-lagu damai, berharap suara mereka dapat menembus dinding-dinding ketegangan diplomatik yang semakin membatu.

Konflik yang kembali pecah pada pertengahan Juni 2025 dan memuncak saat Iran menggempur pangkalan AS di Qatar pada 23 Juni, telah mengguncang hati nurani global. Terlebih ketika Presiden AS Donald Trump mengumumkan gencatan senjata sepihak yang nyatanya hanya bertahan hitungan jam, masyarakat dunia mulai bertanya: siapa sebenarnya yang menginginkan perdamaian?

Aksi Damai Menggema di Berbagai Negara

Di New York, ribuan orang berkumpul di Central Park pada malam 25 Juni, menyalakan ribuan lilin untuk mengenang korban sipil yang gugur, baik di Iran maupun Israel. Dalam aksi yang digerakkan oleh komunitas “Peace Now USA,” para peserta menyerukan agar Presiden Trump menghentikan pendekatan unilateralis dan segera melibatkan lembaga internasional seperti PBB dan Liga Arab dalam proses perdamaian yang nyata.

Sementara itu di Teheran, meskipun dalam situasi yang lebih represif, ratusan warga diam-diam menggelar doa bersama di rumah-rumah ibadah dan taman-taman kota. “Kami tidak ingin perang, kami hanya ingin hidup damai,” ujar seorang mahasiswa Iran yang tak ingin disebutkan namanya kepada media asing. “Kami cinta negeri kami, tapi kami muak dijadikan pion dalam permainan kekuasaan global.”

Eropa Bergejolak: Paris, Berlin, dan London Suarakan Keprihatinan

Di Paris, ribuan demonstran berkumpul di Place de la République, membawa bendera putih dan poster bertuliskan: “Arrêtez la guerre!” (Hentikan perang!). Pemerintah Prancis yang awalnya bungkam pun mulai angkat suara, mendesak Washington dan Tel Aviv untuk menghormati hukum internasional dan membuka ruang negosiasi yang lebih inklusif.

Hal serupa juga terjadi di Berlin, di mana komunitas diaspora Iran dan Yahudi Jerman bersama-sama menggelar forum diskusi bertajuk “Two Peoples, One Future.” Mereka menekankan bahwa konflik tidak mewakili keinginan rakyat, melainkan elite-elite politik yang lebih mementingkan kekuasaan daripada kehidupan manusia.

Dunia Muslim Serukan Solidaritas, Tapi Tak Sepakat Strategi

Di Jakarta, demonstrasi besar digelar di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat. Ribuan massa yang terdiri dari berbagai organisasi Islam dan mahasiswa mengecam agresi Israel ke Iran serta sikap ambigu Amerika. Meski begitu, mereka juga mengingatkan pentingnya tidak menyeret konflik menjadi alasan untuk menyulut sektarianisme Sunni-Syiah.

Presiden Indonesia dalam pidatonya pada malam hari menyatakan, “Kita berdiri bersama rakyat yang terjajah, tapi kita juga berdiri menentang perang yang menghancurkan masa depan siapa pun. Kita mendorong diplomasi, bukan peluru.”

Media Sosial: Medan Perang Baru untuk Narasi dan Empati

Media sosial menjadi lahan subur bagi opini publik dunia. Di Twitter, tagar seperti #StopTheWar, #PeaceForMiddleEast, dan #IranIsraelCeasefire menjadi trending topic global. Ribuan video dan foto dari warga sipil Iran yang terdampak serangan Israel maupun masyarakat Israel yang hidup dalam ketakutan karena sirine serangan udara, menyebar luas dan menggugah simpati.

Namun, medan ini juga tidak bebas dari propaganda. Banyak akun bot dan sumber informasi palsu menyebarkan narasi provokatif, memperkeruh keadaan dan menimbulkan misinformasi. Organisasi pemeriksa fakta seperti Bellingcat dan BBC Verify kini aktif menyanggah konten-konten palsu dan menekankan pentingnya hanya menyebarkan informasi dari sumber terpercaya.

Ketegangan Elite vs Keinginan Rakyat

Yang mencolok dari dinamika ini adalah kontras antara suara rakyat dan kebijakan pemerintah mereka. Di Amerika Serikat, sejumlah anggota Kongres dari Partai Demokrat menyuarakan keprihatinan atas langkah sepihak Trump yang mengumumkan gencatan senjata tanpa koordinasi diplomatik. Senator Alexandria Ocasio-Cortez menyebut tindakan Trump sebagai “aksi teatrikal yang mengorbankan nyawa untuk pencitraan politik.”

Sementara itu, di Israel, jajak pendapat lokal menunjukkan 53% warga merasa tidak yakin bahwa melanjutkan konflik dengan Iran akan membuat negara mereka lebih aman. “Kami ingin perdamaian, bukan perang yang tak berujung,” kata seorang warga Tel Aviv kepada Channel 12 Israel.

Akankah Suara Rakyat Didengar?

Sejarah mencatat bahwa suara publik kadang menjadi kunci pengubah arah kebijakan, seperti demonstrasi anti-perang Vietnam atau Arab Spring. Namun, dalam konflik kompleks seperti Iran–Israel, di mana elemen agama, kekuasaan, dan sejarah panjang dendam saling mengikat, suara rakyat masih harus berjuang menembus tembok-tembok keras geopolitik.

Sementara rudal mungkin berhenti untuk sesaat, dan pejabat bisa duduk berdiskusi di ruang diplomasi, perang yang sesungguhnya — perang narasi dan kemanusiaan — masih terus berlangsung di hati rakyat. Pertanyaannya kini: siapa yang akan mendengarkan?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *